Thursday, June 25, 2015

Gunungan Wayang ( filosofi )

    
       Gunungan adalah wayang berbentuk gambar gunung beserta isinya.[1][2] Di bawahnya terdapat gambar pintu gerbang yang dijaga oleh dua raksasa yang memegang pedang dan perisai.[2] Itu melambangkan pintu gerbang istana , dan pada waktu dimainkan gunungan dipergunakan sebagai istana. Di sebelah atas gunung terdapat pohon kayu yang dibelit oleh seekor ular naga.

       Dalam gunungan tersebut terdapat juga gambar berbagai binatang hutan. Gambar secara keseluruhan menggambarkan keadaan di dalam hutan belantara.[2] Gunungan melambangkan keadaan dunia beserta isinya. Sebelum wayang dimainkan, Gunungan ditancapkan di tengah-tengah layar, condong sedikit ke kanan yang berarti bahwa lakon wayang belum dimulai, bagaikan dunia yang belum beriwayat. Setelah dimainkan, Gunungan dicabut, dijajarkan di sebelah kanan.[2]

       Gunungan dipakai juga sebagai tanda akan bergantinya lakon/tahapan cerita. Untuk itu gunungan ditancapkan di tengah-tengah condong ke kiri. Selain itu Gunungan digunakan juga untuk melambangkan api atau angin. Dalam hal ini Gunungan dibalik, di sebaliknya hanya terdapat cat merah-merah, dan warna inilah yang melambangkan api.

       Gunungan juga dipergunakan untuk melambangkan hutan rimba, dan dimainkan pada waktu adegan rampogan, tentara yang siap siaga dengan bermacam senjata. Dalam hal ini Gunungan bisa berperan sebagai tanah, hutan rimba, jalanan dan sebagainya, yakni mengikuti dialog dari dalang. Setelah lakon selesai, Gunungan ditancapkan lagi di tengah-tengah layar, melambangkan bahwa cerita sudah tamat.

       Gunungan ada dua macam, yaitu Gunungan Gapuran dan Gunungan Blumbangan. Gunungan Blumbangan digubah oleh Sunan Kalijaga dalam zaman Kerajaan Demak. Kemudian pada zaman Kartasura digubah lagi dengan adanya Gunungan Gapuran. Gunungan dalam istilah pewayangan disebut Kayon. Kayon berasal dari kata Kayun. Gunungan mengandung ajaran filsafat yang tinggi, yaitu ajaran mengenai kebijaksanaan. Semua itu mengandung makna bahwa lakon dalam wayang berisikan pelajaran yang tinggi nilainya. Hal ini berarti bahwa pertunjukan wayang juga berisi pertunjukan wayang juga berisi ajaran filsafat yang tinggi.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Gunungan

Gunungan ( Kayon ) Wayang kulit, asli dari kulit sapi tahan sampai 12 tahun lebih.
Ukuran 1 Meter Harga PM
Ukuran 90 Cm Harga PM
Tersedia juga wayang kualitas ISTIMEWA
Alamat : Bumirejo, Kebumen, Jawa tengah, Indonesia ( 54316 )
No Hp      : 087732836169
whats app :087732836169
Pin BB     : 7CE56E0D
Fan page  : Toko Wayang kulit
 https://www.facebook.com/gatoel.akhmad
https://m.facebook.com/gatoel.akhmad

Saturday, June 20, 2015

Kresna


    
 Wayang kulit Krisna, asli dari kulit
sapi tahan sampai 12 tahun lebih.
Tersedia juga wayang kualitas ISTIMEWA
Harga bisa Hubungi Kontak di bawah ini.
Alamat : Bumirejo, Kebumen, Jawa tengah,
Indonesia ( 54316 )
No Hp : 087732836169
whats app : 087732836169
Pin BB : 7CE56E0D

Fanpage : https://www.facebook.com/gatoel.akhmad




Kresna (Dewanagari: कृष्णIASTkṛṣṇa; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping.

Sunday, June 14, 2015

Arjuna ( Janoko )

         Arjuna (Dewanagari: अर्जुनIASTArjuna) adalah nama seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dikenal sebagai anggota Pandawa yang berparas menawan dan berhati lemah lembut. Dalam Mahabharata diriwayatkan bahwa ia merupakan putra Prabu Pandu, raja di Hastinapura dengan Kunti atau Perta, putri Prabu Surasena, raja Wangsa Yadawa di Mathura. Mahabharata mendeskripsikan Arjuna sebagai teman dekat Kresna, yang disebut dalam kitab Purana sebagai awatara (penjelmaan) Dewa Wisnu. Hubungan antara Arjuna dan Kresna sangat erat, sehingga Arjuna meminta kesediaannya sebagai penasihat sekaligus kusir kereta Arjuna saat perang antara Pandawa dan Korawa berkecamuk (Bharatayuddha). Dialog antara Kresna dan Arjuna sebelum perang Bharatayuddha berlangsung terangkum dalam suatu kitab tersendiri yang disebut Bhagawadgita, yang secara garis besar berisi wejangan suci yang disampaikan oleh Kresna karena Arjuna mengalami keragu-raguan untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang kesatria di medan perang.[1]

Etimologi dan nama lain

         Dalam bahasa Sanskerta, secara harfiah kata Arjuna berarti "bersinar terang", "putih" , "bersih". Dilihat dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan pikiran". Saat Arjuna menjalani masa penyamaran (tercatat dalam kitab Wirataparwa), ia berperan sebagai pelatih tari di keraton Raja Wirata, dan bersedia menjadi kusir kereta Pangeran Utara saat terjadi invasi Kerajaan Kuru. Untuk meyakinkan sang pangeran bahwa ia adalah Arjuna putra Pandu yang sedang menyamar, maka Arjuna membeberkan sepuluh namanya:[2][3]
  • Arjuna (अर्जुन Arjuna): yang tak ternoda dan bersinar keperakan.
  • Palguna (फल्गुन Phalguna): yang lahir ketika bintang Uttarā Phālgunī berada di zenith.
  • Jisnu (जिष्णु Jiṣṇu): yang hebat ketika marah.
  • Kiriti (किरीटिं Kirīṭin): yang bermahkota indah (kiriti) pemberian Dewa Indra.
  • Swetawahana (श्वेतवाहन Śvetavāhana): yang memiliki wahana berwarna putih.
  • Bibatsu (बिभत्सुः Bibhatsuḥ): yang tidak pernah bertarung secara curang.
  • Wijaya (विजय Vijaya): yang berjaya, merujuk kepada prestasi Arjuna yang selalu memenangkan pertempuran yang dihadapinya.
  • Parta (पार्थ Pārtha): matronim dari Perta, secara harfiah berarti "anak Perta" (nama lain Kunti).
  • Sawyasaci (सव्यसाचिं Savyasācin): yang bisa menggunakan kedua tangannya untuk menembakkan anah panah.
  • Dananjaya (धनंजय Dhanaṅjaya): yang mahir menguasai busur panah (dhanu).
Di samping nama lain Arjuna yang disebutkan dalam Wirataparwa, ada sejumlah nama lain yang ditemui dalam kitab Bhagawadgita yang merupakan bagian dari Bhismaparwa. Beberapa nama lain yang dapat ditemui yaitu sebagai berikut:
  • Anaga (अनघ Anagha): yang tak tercela.
  • Barata (भारत Bhārata): keturunan Bhārata.
  • Baratasresta (भारतश्रेष्ठ Bhārataśreṣṭha): keturunan Bharata yang terbaik.
  • Baratasatama (भारतसत्तम Bhāratasattama): keturunan Bharata yang utama.
  • Baratasaba (भारतशभा Bhārataśabhā): keturunan Bharata yang mulia.
  • Gandiwi (गन्दीवि Gandīvi): pemilik Gandiwa (busur panah sakti).
  • Gudakesa (गुदकेश Gudakeśa): penakluk rasa kantuk.
  • Kapidwaja (कपिध्वज Kapidhwaja): yang memakai panji berlambang monyet.
  • Kurunandana (कुरुनन्दन Kurunandana): putra kesayangan wangsa Kuru.
  • Kuruprawira (कुरुप्रविर Kurupravīra): perwira wangsa Kuru.
  • Kurusatama (कुरुसत्तम Kurusattama): keturunan wangsa Kuru yang utama.
  • Kurusresta (कुरुश्रेष्ठ Kuruśreṣṭha): keturunan wangsa Kuru yang terbaik.
  • Mahabahu (महाबाहु Mahābāhu): yang berlengan perkasa.
  • Parantapa (परंतप Paraṃtapa): penakluk musuh.
  • Purusaresaba (पुरुषऋषभा Puruṣaṛṣabhā): yang terbaik di antara manusia.

Kelahiran

         Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Prabu Pandu tidak bisa melanjutkan keturunan karena dikutuk oleh seorang resi. Kunti—istri pertamanya—menerima anugerah dari Resi Durwasa sehingga mampu memanggil dewa sesuai dengan keinginannya, dan juga dapat memperoleh anugerah dari dewa yang dipanggilnya. Pandu dan Kunti memanfaatkan anugerah tersebut untuk memanggil Dewa Yama (Dharmaraja; Yamadipati), Bayu (Maruta), dan Indra (Sakra) yang kemudian memberi mereka tiga putra. Arjuna merupakan putra ketiga, lahir dari Indra, pemimpin para Dewa. Ia lahir di lereng gunung Himawan, di sebuah tempat yang disebut Satsringa pada hari saat bintang Utara Phalguna tampak di zenith.

Masa muda dan pendidikan

        Arjuna dididik bersama dengan saudara-saudaranya yang lain (para Pandawa dan Korawa) oleh Drona. Kemahirannya dalam ilmu memanah sudah tampak sejak kecil. Pada usia muda ia mendapat gelar Maharathi atau "kesatria terkemuka". Dalam suatu ujian, Drona meletakkan burung kayu pada pohon, lalu menyuruh muridnya satu-persatu untuk membidik burung tersebut, kemudian menanyakan apa saja yang sudah mereka lihat. Banyak murid yang menjawab bahwa mereka melihat pohon, cabang, ranting, dan segala sesuatu yang dekat dengan burung tersebut, termasuk burung itu sendiri. Ketika tiba giliran Arjuna untuk membidik, Drona menanyakan apa yang dilihatnya. Arjuna menjawab bahwa ia hanya melihat burung saja, tidak melihat benda yang lainnya. Hal itu membuat Drona kagum dan meyakinkannya bahwa Arjuna sudah pintar.
                  Pada suatu hari, ketika Drona sedang mandi di sungai Gangga, seekor buaya datang mengigitnya. Drona dapat membebaskan dirinya dengan mudah, namun karena ingin menguji keberanian murid-muridnya maka ia berteriak meminta tolong. Di antara murid-muridnya, hanya Arjuna yang datang memberi pertolongan. Dengan panahnya, ia membunuh buaya yang menggigit gurunya. Atas pengabdian Arjuna, Drona memberikan sebuah astra yang bernama Brahmasirsa. Drona juga mengajarkan kepada Arjuna tentang cara memanggil dan menarik astra tersebut. Menurut Mahabharata, Brahmasirsa hanya dapat ditujukan kepada dewa, raksasa, setan jahat, dan makhluk sakti yang berbuat jahat, agar dampaknya tidak berbahaya.

Arjuna mendapatkan Dropadi



         Dalam Adiparwa diceritakan bahwa Duryodana—salah satu Korawa—menganjurkan agar Pandawa beserta ibunya (Kunti) berlibur di suatu rumah di luar kerajaan. Sesungguhnya Duryodana telah mempersiapkan agar rumah tersebut dapat terbakar dengan mudah, karena ia membenci para Pandawa, terutama Bima. Widura, paman para Pandawa dan Korawa yang waspada meminta agar para Pandawa berhati-hati dan mempersiapkan cara untuk menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Saat para Pandawa menginap, Purocana, pesuruh Duryodana membakar rumah tersebut. Para Pandawa beserta ibunya berhasil lolos melalui terowongan yang telah digali sebelumnya. Mereka melarikan diri ke tengah hutan dan menumpang di rumah penduduk sekitar.
         Pada suatu ketika, sekelompok brahmana berkumpul di tempat para Pandawa melarikan diri. Mereka membicarakan sebuah sayembara yang akan diadakan di Kerajaan Panchala. Para Pandawa datang ke tempat sayembara dengan menyamar sebagai kaum brahmana. Raja Drupada dari Panchala mengadakan sayembara untuk mendapatkan Dropadi, putrinya. Sebuah ikan kayu diletakkan di atas kubah balairung, dan di bawahnya terdapat kolam yang memantulkan bayangan ikan yang berada di atas. Aturan menyebutkan bahwa siapa pun yang berhasil memanah ikan tersebut dengan hanya melihat pantulannya di kolam, maka ia berhak mendapatkan Dropadi.
         Berbagai kesatria mencoba melakukannya, namun tidak berhasil. Ketika Karna yang hadir pada saat itu ikut mencoba, ia berhasil memanah ikan tersebut dengan baik. Namun ia ditolak oleh Dropadi dengan alasan Karna lahir di kasta rendah. Arjuna bersama saudaranya yang lain menyamar sebagai Brahmana, turut serta menghadiri sayembara tersebut. Arjuna berhasil memanah ikan tepat sasaran dengan hanya melihat pantulan bayangannya di kolam, dan ia berhak mendapatkan Dropadi.
         Ketika para Pandawa pulang membawa Dropadi, mereka mengaku telah membawa sedekah. Kunti—ibu para Pandawa—yang sedang sibuk, menyuruh mereka untuk membagi rata apa yang sudah mereka dapatkan. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Kunti, maka para Pandawa bersepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri mereka. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama satu tahun.

Perjalanan menjelajahi Bharatawarsha



         Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para raksasa. Arjuna bergegas mengambil senjatanya, namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar tempat Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tanpa memedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama satu tahun.
         Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno. Ketika sampai di sungai Gangga, Arjuna bertemu dengan Ulupi, putri Naga Korawya dari istana naga atau Nagaloka. Arjuna terpikat dengan kecantikan Ulupi lalu menikah dengannya. Dari hasil perkawinannya, ia dikaruniai seorang putra yang diberi nama Irawan.[4] Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya menuju wilayah pegunungan Himalaya. Setelah mengunjungi sungai-sungai suci yang ada di sana, ia berbelok ke selatan.
         Ia sampai di sebuah negeri yang bernama Manipura. Raja negeri tersebut bernama Citrasena. Ia memiliki seorang puteri yang sangat cantik bernama Citrānggadā. Arjuna jatuh cinta kepada putri tersebut dan hendak menikahinya, namun Citrasena mengajukan suatu syarat bahwa apabila putrinya tersebut melahirkan seorang putra, maka anak putrinya tersebut harus menjadi penerus tahta                   Manipura oleh karena Citrasena tidak memiliki seorang putra. Arjuna menyetujui syarat tersebut. Dari hasil perkawinannya, Arjuna dan Citrānggadā memiliki seorang putra yang diberi nama Babruwahana. Oleh karena Arjuna terikat dengan janjinya terdahulu, maka ia meninggalkan Citrānggadā setelah tinggal selama beberapa bulan di Manipura. Ia tidak mengajak istrinya pergi ke Hastinapura.[5]
         Setelah meninggalkan Manipura, ia meneruskan perjalanannya menuju arah selatan. Dia sampai di lautan yang mengapit Bharatawarsha di sebelah selatan, setelah itu ia berbelok ke utara. Ia berjalan di sepanjang pantai Bharatawarsha bagian barat. Dalam pengembaraannya, Arjuna sampai di pantai Prabasa (Prabasatirta) yang terletak di dekat Dwaraka, yang kini dikenal sebagai Gujarat. Di sana ia menyamar sebagai seorang pertapa untuk mendekati adik Kresna yang bernama Subadra, tanpa diketahui oleh siapa pun. Atas perhatian dari Baladewa, Arjuna mendapat tempat peristirahatan yang layak di taman Subadra. Meskipun rencana untuk membiarkan dua pemuda tersebut tinggal bersama ditentang oleh Kresna, namun Baladewa meyakinkan bahwa peristiwa buruk tidak akan terjadi.                   Arjuna tinggal selama beberapa bulan di Dwaraka, dan Subadra telah melayani semua kebutuhannya selama itu. Ketika saat yang tepat tiba, Arjuna menyatakan perasaan cintanya kepada Subadra. Pernyataan itu disambut oleh Subadra. Dengan kereta yang sudah disiapkan oleh Kresna, mereka pergi ke Indraprastha untuk melangsungkan pernikahan.[6]
         Baladewa marah setelah mendengar kabar bahwa Subadra telah kabur bersama Arjuna. Kresna meyakinkan bahwa Subadra pergi atas kemauannya sendiri, dan Subadra sendiri yang mengemudikan kereta menuju Indraprastha, bukan Arjuna. Kresna juga mengingatkan Baladewa bahwa dulu ia menolak untuk membiarkan kedua pasangan tersebut tinggal bersama, namun usulnya ditentang oleh Baladewa. Setelah Baladewa sadar, ia membuat keputusan untuk menyelenggarakan upacara pernikahan yang mewah bagi Arjuna dan Subadra di Indraprastha. Ia juga mengajak kaum Yadawa untuk turut hadir di pesta pernikahan Arjuna-Subadra. Setelah pesta pernikahan berlangsung, kaum Yadawa tinggal di Indraprastha selama beberapa hari, lalu pulang kembali ke Dwaraka, namun Kresna tidak turut serta.[7]

Pembakaran hutan Kandawa

         Dalam bagian akhir Adiparwa diriwayatkan peristiwa pembakaran hutan Kandawa serta pertemuan Arjuna dengan arsitek bernama Mayasura. Kisah tersebut diawali dengan acara pengembaraan Arjuna dan Kresna di tepi sungai Yamuna. Di tepi hutan tersebut terdapat hutan lebat yang bernama Kandawa. Di sana mereka bertemu dengan Agni, dewa api. Agni berkata bahwa hutan Kandawa seharusnya telah musnah dilalap api, namun Indra selalu menurunkan hujannya untuk melindungi temannya yang bernama Taksaka, yang hidup di hutan tersebut. Maka, Agni memohon agar Kresna dan Arjuna bersedia membantunya menghancurkan hutan Kandawa. Kresna dan Arjuna bersedia membantu Agni, namun terlebih dahulu mereka meminta agar Agni menyediakan senjata kuat bagi mereka berdua untuk menghalau gangguan yang akan muncul.
         Kemudian Agni memanggil Baruna, dewa lautan. Baruna memberikan busur suci bernama Gandiwa, kereta perang dengan empat kuda dihias bendera berlambang monyet, serta tabung berisi anak panah dengan jumlah tak terbatas kepada Arjuna.[8] Untuk Kresna, Baruna memberikan Cakra Sudarsana. Dengan senjata tersebut, mereka berdua menjaga agar Agni mampu melalap hutan Kandawa sampai habis.[9]
         Dalam proses pembakaran hutan Kandawa, Arjuna menyelamatkan seorang asura yang mahir merancang bangunan, namanya Mayasura.[9] Sebagai balas budi, Mayasura berjanji bahwa ia akan membangun sebuah istana untuk Yudistira, kakak Arjuna. Oleh karena Mayasura merupakan arsitek yang cekatan, maka merupakan hal yang mudah baginya untuk membangun balairung akbar sekaligus istana megah bagi para Pandawa di Indraprastha.[10] Pembangunan istana megah tersebut mengawali jilid kedua Mahabharata yang berjudul Sabhaparwa. Dalam buku tersebut diceritakan bahwa demi merebut kekayaan para Pandawa, Duryodana menantang mereka bermain dadu dengan taruhan harta masing-masing. Pada akhirnya para Pandawa kalah, dan riwayat mereka selanjutnya diceritakan dalam Wanaparwa.

Pertapaan Arjuna

         Dalam kitab Wanaparwa diriwayatkan kejadian setelah para Pandawa—yang dipimpin Yudistira—kalah bermain dadu melawan para Korawa yang dipimpin Duryodana. Sesuai ketentuan permainan tersebut, maka para Pandawa beserta Dropadi mengasingkan diri ke hutan (wana dalam bhs. Sanskerta). Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Arjuna untuk bertapa demi memperoleh kesaktian dalam peperangan melawan para sepupunya. Arjuna memilih lokasi bertapa di gunung Indrakila. Dalam usahanya, ia diuji oleh tujuh bidadari yang dipimpin oleh Supraba, namun keteguhan hati Arjuna mampu melawan berbagai godaan yang diberikan oleh para bidadari.
         Para bidadari yang kesal kembali ke kahyangan, dan melaporkan kegagalan mereka kepada Indra. Indra turun di tempat Arjuna bertapa sambil menyamar sebagai seorang pendeta. Dia menanyakan tujuan Arjuna melakukan tapa di gunung Indrakila. Arjuna menjawab bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan untuk mengurangi penderitaan rakyat, serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya, terutama para Korawa yang selalu bersikap jahat terhadap para Pandawa. Setelah mendengar penjelasan dari Arjuna, Indra menampakkan wujudnya yang sebenarnya. Dia memberikan anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.
         Setelah mendapat anugerah dari Dewa Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke hadapan Dewa Siwa. Siwa yang terkesan dengan tapa Arjuna kemudian mengirimkan seekor babi hutan berukuran besar. Ia menyeruduk gunung Indrakila hingga bergetar. Hal tersebut membuat Arjuna terbangun dari tapanya. Karena ia melihat seekor babi hutan sedang mengganggu tapanya, maka ia segera melepaskan anak panahnya untuk membunuh babi tersebut. Di saat yang bersamaan, Siwa datang dan menyamar sebagai pemburu, turut melepaskan anak panah ke arah babi hutan yang dipanah oleh Arjuna.
         Karena kesaktian dewa, kedua anak panah yang menancap di tubuh babi hutan itu menjadi satu. Pertengkaran hebat terjadi antara Arjuna dan Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Mereka sama-sama mengaku telah membunuh babi hutan siluman, namun hanya satu anak panah saja yang menancap, bukan dua. Maka dari itu, Arjuna berpikir bahwa si pemburu telah mengklaim sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Arjuna. Setelah adu mulut, mereka berdua berkelahi.
         Saat Arjuna menujukan serangannya kepada si pemburu, tiba-tiba orang itu menghilang dan menampakkan wujud aslinya sebagai Siwa. Arjuna meminta maaf karena ia telah berani melakukan tantangan. Siwa tidak marah kepada Arjuna, justru sebaliknya ia merasa kagum. Atas keberaniannya, Dewa Siwa memberi anugerah berupa panah sakti bernama pasupati.
         Setelah menerima senjata pasupati, Arjuna dijemput oleh para penghuni kahyangan untuk menuju kediaman Indra, raja para dewa. Di sana Arjuna menghabiskan waktu selama beberapa tahun. Di sana pula Arjuna bertemu dengan bidadari Urwasi. Karena Arjuna tidak mau menikahi bidadari Urwasi, maka Urwasi mengutuk Arjuna agar kelak menjadi banci (peran Arjuna sebagai banci diceritakan sebagai dalam buku Wirataparwa). Kutukan itu dimanfaatkan oleh Arjuna pada saat para Pandawa menyelesaikan hukuman pembuangan mereka dalam hutan. Setelah menyelesaikan hukuman pembuangan, Pandawa beserta Dropadi berlindung di kerajaan Wirata.
          Sesuai dengan perjanjian yang sah—sebagai akibat kekalahan saat bermain dadu—maka para Pandawa beserta Dropadi harus hidup dalam penyamaran selama satu tahun. Maka dari itu, para Pandawa beserta Dropadi harus menyembunyikan identitas asli mereka dan hidup sebagai orang lain. Di sana Arjuna menyamar sebagai guru tari yang banci, dengan nama samaran Brihanala.[11] Meskipun demikian, Arjuna telah berhasil membantu putra mahkota kerajaan Wirata, yaitu pangeran Utara, dengan menghalau musuh yang hendak menyerbu kerajaan Wirata.

Persiapan perang

         Setelah menjalani masa pembuangan selama 13 tahun dan masa penyamaran selama setahun, para Pandawa ingin memperoleh kembali kerajaannya. Namun hak mereka ditolak dengan tegas oleh Duryodana, bahkan ia menantang untuk berperang. Demi kerajaannya, para Pandawa setuju untuk melakukan perang. Sebelum perang terjadi, Kresna melakukan misi perdamaian, namun gagal. Akhirnya Kresna setuju untuk terlibat dalam perang, namun dengan tidak membawa senjata. Ia ingin salah satu pihak memilih tentaranya, sedangkan pihak yang lain memilihnya sebagai penasihat. Arjuna yang mewakili Pandawa lebih memilih kehadiran Kresna sebagai penasihat, sementara Duryodana yang mewakili Korawa lebih memilih pasukan Kresna.

Arjuna menerima Bhagawadgita

         Dalam Mahabharata, peran Kresna sebagai kusir bermakna pemandu atau penunjuk jalan, yaitu memandu Arjuna melewati segala kebimbangan hatinya dan menunjukkan jalan kebenaran kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang diuraikan Kresna kepada Arjuna disebut Bhagawadgita. Hal itu bermula beberapa saat sebelum perang di Kurukshetra dimulai. Saat Arjuna melakukan inspeksi terhadap pasukannya, ia dilanda pergolakan batin ketika ia melihat kakeknya, guru besarnya, saudara sepupu, teman sepermainan, ipar, dan kerabatnya yang lain berkumpul di Kurukshetra untuk melakukan pembantaian besar-besaran. Arjuna menjadi tak tega untuk membunuh mereka semua. Dilanda oleh masalah batin, antara mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertekad untuk mengundurkan diri dari pertempuran.
Kresna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di hadapan saya, dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering... (BhagawadgitaI:28)
Kita akan dikuasai dosa jika membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putra Drestarastra dan kawan-kawan kita. O Kresna, suami Dewi Laksmi, apa keuntungannya bagi kita, dan bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita sendiri? (BhagawadgitaI:36)
         Untuk mengatasi kebimbangan Arjuna, Kresna menguraikan ajaran-ajaran kebenaran agar semua keraguan di hati Arjuna sirna. Kresna menjelaskan apa yang sepantasnya dilakukan Arjuna sebagai kewajibannya di medan perang. Selain itu Kresna menunjukkan bentuk semestanya kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang dijabarkan Kresna tersebut dikenal sebagai Bhagawadgita. Kitab Bhagawadgita yang sebenarnya merupakan suatu bagian dari Bhismaparwa, menjadi kitab tersendiri yang sangat terkenal dalam ajaran Hindu, karena dianggap merupakan intisari dari ajaran-ajaran Weda.

Arjuna dalam Bharatayuddha

         Dalam pertempuran di Kurukshetra, atau Bharatayuddha, Arjuna bertarung dengan para kesatria dari pihak Korawa, dan tidak jarang ia membunuh mereka, termasuk panglima besar pihak Korawa yaitu Bisma. Di awal pertempuran, Arjuna masih dibayangi oleh kasih sayang Bisma sehingga ia masih segan untuk membunuhnya. Hal itu membuat Kresna marah berkali-kali, dan Arjuna berjanji bahwa kelak ia akan mengakhiri nyawa Bisma. Pada pertempuran di hari kesepuluh, Arjuna berhasil membunuh Bisma, dan usaha tersebut dilakukan atas bantuan dari Srikandi. Setelah Abimanyu putra Arjuna gugur pada hari ketiga belas, Arjuna bertarung dengan Jayadrata untuk membalas dendam atas kematian putranya. Pertarungan antara Arjuna dan Jayadrata diakhiri menjelang senja hari, dengan bantuan dari Kresna.
         Pada pertempuran di hari ketujuh belas, Arjuna terlibat dalam duel sengit melawan Karna. Ketika panah Karna melesat menuju kepala Arjuna, Kresna menekan kereta Arjuna ke dalam tanah dengan kekuatan saktinya sehingga panah Karna meleset beberapa inci dari kepala Arjuna. Saat Arjuna menyerang Karna kembali, kereta Karna terperosok ke dalam lubang (karena sebuah kutukan). Karna turun untuk mengangkat kembali keretanya yang terperosok. Salya, kusir keretanya, menolak untuk membantunya. Karena mematuhi etika peperangan, Arjuna menghentikan penyerangannya bila kereta Karna belum berhasil diangkat.
          Pada saat itulah Kresna mengingatkan Arjuna atas kematian Abimanyu, yang terbunuh dalam keadaan tanpa senjata dan tanpa kereta. Dilanda oleh pergolakan batin, Arjuna melepaskan panah Rudra yang mematikan ke kepala Karna. Senjata itu memenggal kepala Karna.

Kehidupan setelah Bharatayuddha

         Tak lama setelah Bharatayuddha berakhir, Yudistira diangkat menjadi Raja Kuru dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Untuk menengakkan dharma di seluruh Bharatawarsha, sekaligus menaklukkan para raja kejam dengan pemerintahan tiran, maka Yudistira menyelenggarakan Aswamedha-yadnya. Upacara tersebut dilakukan dengan melepaskan seekor kuda dan kuda itu diikuti oleh Arjuna beserta para prajurit. Daerah yang dilalui oleh kuda tersebut menjadi wilayah Kerajaan Kuru. Ketika Arjuna sampai di Manipura, ia bertemu dengan Babruwahana, putra Arjuna yang tidak pernah melihat wajah ayahnya semenjak kecil. Babruwahana bertarung dengan Arjuna, dan berhasil membunuhnya. Ketika Babruwahana mengetahui hal yang sebenarnya, ia sangat menyesal. Atas bantuan Ulupi dari negeri Naga, Arjuna hidup kembali.
         Tiga puluh enam tahun setelah Bharatayuddha berakhir, Dinasti Yadu musnah di Prabhasatirtha karena perang saudara. Kresna dan Baladewa, yang konon merupakan kesatria paling sakti dalam dinasti tersebut, ikut tewas namun tidak dalam waktu yang bersamaan. Setelah berita kehancuran itu disampaikan oleh Daruka, Arjuna datang ke kerajaan Dwaraka untuk menjemput para wanita dan anak-anak. Sesampainya di Dwaraka, Arjuna melihat bahwa kota gemerlap tersebut telah sepi. Basudewa yang masih hidup, tampak terkulai lemas dan kemudian wafat di mata Arjuna.
         Sesuai dengan amanat yang ditinggalkan Kresna, Arjuna mengajak para wanita dan anak-anak untuk mengungsi ke Kurukshetra. Dalam perjalanan, mereka diserang oleh segerombolan perampok. Arjuna berusaha untuk menghalau serbuan tersebut, namun kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Dengan sedikit pengungsi dan sisa harta yang masih bisa diselamatkan, Arjuna menyebar mereka di wilayah Kurukshetra.
         Setelah Arjuna berhasil menjalankan misinya untuk menyelamatkan sisa penghuni Dwaraka, ia pergi menemui Resi Byasa demi memperoleh petunjuk. Arjuna mengadu kepada Byasa bahwa kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Byasa yang bijaksana sadar bahwa itu semua adalah takdir Tuhan. Byasa menyarankan bahwa sudah selayaknya para Pandawa meninggalkan kehidupan duniawi. Setelah mendapat nasihat dari Byasa, para Pandawa spakat untuk melakukan perjalanan suci menjelajahi Bharatawarsha.

Perjalanan terakhir dan kematian

         Perjalanan terakhir yang dilakukan oleh para Pandawa diceritakan dalam kitab Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa. Dalam perjalanan sucinya, para Pandawa dihadang oleh api yang sangat besar, yaitu Agni. Ia meminta Arjuna agar senjata Gandiwa beserta tabung anak panahnya yang tak pernah habis dikembalikan kepada Baruna, sebab tugas Nara sebagai Arjuna sudah berakhir pada zaman Dwaparayuga tersebut. Dengan berat hati, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke lautan, ke kediaman Baruna. Setelah itu, Agni lenyap dari hadapannya dan para Pandawa melanjutkan perjalanannya. Ketika para Pandawa serta istrinya memilih untuk mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka, Arjuna gugur di tengah perjalanan setelah kematian Nakula, Sahadewa, dan Dropadi.

Adaptasi dalam kebudayaan Indonesia

         Di Nusantara, tokoh Arjuna juga dikenal dan sudah terkenal dari dahulu kala. Arjuna terutama menjadi populer di daerah Jawa, Bali, Madura, dan Lombok. Di Jawa dan kemudian di Bali, Arjuna menjadi tokoh utama dalam beberapa kakawin, seperti misalnya Kakawin Arjunawiwāha, Kakawin Pārthayajña, dan Kakawin Pārthāyana (juga dikenal dengan nama Kakawin Subhadrawiwāha. Selain itu Arjuna juga didapatkan dalam beberapa relief candi di pulau Jawa misalkan candi Surowono.

Arjuna dalam pewayangan Jawa


Arjuna versi wayang Jawa.


Wayang kulit Arjuna yang diberi warna.
         Arjuna merupakan seorang tokoh ternama dalam dunia pewayangan dalam budaya Jawa Baru. Beberapa ciri khas Arjuna versi pewayangan mungkin berbeda dengan ciri khas Arjuna dalam kitab Mahābhārata versi India dengan bahasa Sanskerta. Dalam dunia pewayangan, Arjuna digambarkan sebagai seorang kesatria yang gemar berkelana, bertapa, dan berguru. Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana.          Arjuna pernah menjadi brahmana di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Ia dijadikan kesatria unggulan para dewa untuk membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Dewa Indra, bergelar Prabu Karitin. dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain: Gendewa (dari Bhatara Indra), Panah Ardadadali (dari Bhatara Kuwera), Panah Cundamanik (dari Bhatara Narada).  Setelah perang Bharatayuddha, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata.
         Arjuna memiliki sifat cerdik dan pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Ia adalah petarung tanpa tanding di medan laga, meski bertubuh ramping berparas rupawan sebagaimana seorang dara, berhati lembut meski berkemauan baja, kesatria dengan segudang istri dan kekasih meski mampu melakukan tapa yang paling berat, seorang kesatria dengan kesetiaan terhadap keluarga yang mendalam tapi kemudian mampu memaksa dirinya sendiri untuk membunuh saudara tirinya.
          Bagi generasi tua Jawa, dia adalah perwujudan lelaki seutuhnya. Sangat berbeda dengan Yudistira, dia sangat menikmati hidup di dunia. Petualangan cintanya senantiasa memukau orang Jawa, tetapi secara aneh dia sepenuhnya berbeda dengan Don Juan yang selalu mengejar wanita. Konon Arjuna begitu halus dan tampan sosoknya sehingga para puteri begitu, juga para dayang, akan segera menawarkan diri mereka. Merekalah yang mendapat kehormatan, bukan Arjuna. Ia sangat berbeda dengan Wrekudara. Dia menampilkan keanggunan tubuh dan kelembutan hati yang begitu dihargai oleh orang Jawa berbagai generasi.
         Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain: Keris Kiai Kalanadah diberikan pada Gatotkaca saat mempersunting Dewi Pergiwa (putra Arjuna), Panah Sangkali (dari Resi Drona), Panah Candranila, Panah Sirsha, Panah Kiai Sarotama, Panah Pasupati (dari Batara Guru), Panah Naracabala, Panah Ardhadhedhali, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni (diberikan pada Abimanyu), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton (pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama. Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu Kampuh atau Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung).

Istri dan keturunan

Dalam Mahabharata versi pewayangan Jawa, Arjuna mempunyai banyak sekali istri,itu semua sebagai simbol penghargaan atas jasanya ataupun atas keuletannya yang selalu berguru kepada banyak pertapa. Berikut sebagian kecil istri dan anak-anaknya:
  1. Dewi Subadra, berputra Raden Abimanyu
  2. Dewi Sulastri, berputra Raden Sumitra
  3. Dewi Larasati, berputra Raden Bratalaras
  4. Dewi Ulupi atau Palupi, berputra Bambang Irawan
  5. Dewi Jimambang, berputra Kumaladewa dan Kumalasakti
  6. Dewi Ratri, berputra Bambang Wijanarka
  7. Dewi Dresanala, berputra Raden Wisanggeni
  8. Dewi Wilutama, berputra Bambang Wilugangga
  9. Dewi Manuhara, berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati
  10. Dewi Supraba, berputra Raden Prabakusuma
  11. Dewi Antakawulan, berputra Bambang Antakadewa
  12. Dewi Juwitaningrat, berputra Bambang Sumbada
  13. Dewi Maheswara
  14. Dewi Retno Kasimpar
  15. Dewi Dyah Sarimaya
  16. Dewi Srikandi

Nama lain dan julukan

Dalam wiracarita Mahabharata versi nusantara, Arjuna memiliki banyak nama lain dan nama julukan, antara lain: Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Batara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Indrasuta, Danasmara (perayu ulung) dan Margana (suka menolong) "Begawan Mintaraga" adalah nama yang digunakan oleh Arjuna saat menjalani laku tapa di puncak Indrakila dalam rangka memperoleh senjata sakti dari dewata, yang akan digunakan dalam perang yang tak terhindarkan melawan musuh-musuhnya, yaitu keluarga Korawa.


Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Arjuna

Wayang kulit Arjuna (Janoko ) , asli dari kulit sapi tahan sampai 12 tahun lebih.
Tersedia juga wayang kualitas ISTIMEWA.
Alamat : Bumirejo, Kebumen, Jawa tengah, Indonesia ( 54316 )
No Hp      : 087732836169
whats app :087732836169
Pin BB     : 7CE56E0D
Fan page  : Toko Wayang kulit
https://www.facebook.com/gatoel.akhmad
https://m.facebook.com/gatoel.akhmad

Friday, June 5, 2015

Punokawan




       Punakawan (diambil dari bahasa Jawa) atau punakawan KBBI adalah sebutan umum untuk para pengikut kesatria dalam khasanah kesusastraan Indonesia, terutama di Jawa. Pada umumnya para panakawan ditampilkan dalam pementasan wayang, baik itu wayang kulit, wayang golek, ataupun wayang orang sebagai kelompok penebar humor untuk mencairkan suasana. Namun di samping itu, para panakawan juga berperan penting sebagai penasihat nonformal kesatria yang menjadi asuhan mereka.

Peran Punakawan

       Istilah punakawan berasal dari kata pana yang bermakna "paham", dan kawan yang bermakna "teman". Maksudnya ialah, para panakawan tidak hanya sekadar abdi atau pengikut biasa, namun mereka juga memahami apa yang sedang menimpa majikan mereka. Bahkan seringkali mereka bertindak sebagai penasihat majikan mereka tersebut.
       Hal yang paling khas dari keberadaan panakawan adalah sebagai kelompok penebar humor di tengah-tengah jalinan cerita. Tingkah laku dan ucapan mereka hampir selalu mengundang tawa penonton. Selain sebagai penghibur dan penasihat, adakalanya mereka juga bertindak sebagai penolong majikan mereka di kala menderita kesulitan. Misalnya, sewaktu Bimasena kewalahan menghadapi Sangkuni dalam perang Baratayuda, Semar muncul memberi tahu titik kelemahan Sangkuni.
       Dalam percakapan antara para punakawan tidak jarang bahasa dan istilah yang mereka pergunakan adalah istilah modern yang tidak sesuai dengan zamannya. Namun hal itu seolah sudah menjadi hal yang biasa dan tidak dipermasalahkan. Misalnya, dalam pementasan wayang, tokoh Petruk mengaku memiliki mobil atau handphone, padahal kedua jenis benda tersebut tentu belum ada pada zaman pewayangan.

Sejarah Punakawan

       Pementasan wayang hampir selalu dibumbui dengan tingkah laku lucu para panakawan. Pada umumnya kisah yang dipentaskan bersumber dari naskah Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India. Meskipun demikian, dalam kedua naskah tersebut sama sekali tidak dijumpai adanya tokoh panakawan. Hal ini dikarenakan panakawan merupakan unsur lokal ciptaan pujangga Jawa sendiri.
       Menurut sejarawan Slamet Muljana, tokoh panakawan muncul pertama kali dalam karya sastra berjudul Ghatotkacasraya karangan Empu Panuluh pada zaman Kerajaan Kadiri. Naskah ini menceritakan tentang bantuan Gatotkaca terhadap sepupunya, yaitu Abimanyu yang berusaha menikahi Ksitisundari, putri Sri Kresna.
Dikisahkan Abimanyu memiliki tiga orang panakawan bernama:
       Ketiganya dianggap sebagai panakawan pertama dalam sejarah kesusastraan Jawa. Dalam kisah tersebut peran ketiganya masih belum seberapa, seolah hanya sebagai pengikut biasa.
Panakawan selanjutnya adalah Semar, yang muncul dalam karya sastra berjudul Sudamala dari zaman Kerajaan Majapahit. Dalam naskah ini, Semar lebih banyak berperan aktif daripada ketiga panakawan di atas. Pada zaman selanjutnya, untuk menjaga keterkaitan antara kedua golongan panakawan tersebut, para dalang dalam pementasan wayang seringkali menyebut Jurudyah Puntaprasanta sebagai salah satu nama sebutan lain untuk Semar.

Gara-Gara

       Para dalang dalam setiap bagian pertengahan pementasan wayang, hampir selalu mengisahkan adanya peristiwa gara-gara (baca: goro-goro seperti melafalkan 'gorong-gorong'; dari bahasa Jawa) yaitu sebuah keadaan saat terjadi bencana besar menimpa bumi. Antara lain gunung meletus, banjir, gempa bumi, bahkan sampai korupsi yang merajalela. Panjang-pendek serta keindahan tata bahasa yang diucapkan untuk melukiskan keadaan gara-gara tidak ada standar baku, karena semuanya kembali pada kreativitas dalang masing-masing.
       Para dalang kemudian mengisahkan bahwa setelah gara-gara berakhir, para panakawan muncul dengan ekspresi bahagia, menebar humor, dan bersenda gurau. Hal ini merupakan simbol bahwa setelah munculnya peristiwa kekacauan atau kerusuhan yang menimpa suatu negara, maka diharapkan rakyat kecil adalah pihak pertama yang mendapatkan keuntungan, bukan sebaliknya.
Akibat kesalahpahaman, istilah gara-gara saat ini dianggap sebagai saat kemunculan para panakawan. Gara-gara dianggap sebagai waktu untuk dalang menghentikan sementara kisah yang sedang dipentaskan, dan menggantinya dengan sajian musik dan hiburan bagi para penonton.

Daftar Nama para Panakawan

       Dalam pementasan wayang, baik itu gaya Yogyakarta, Surakarta, Sunda, ataupun Jawa Timuran, tokoh Semar dapat dipastikan selalu ada, meskipun dengan pasangan yang berbeda-beda.
Pewayangan gaya Jawa Tengah menampilkan empat orang panakawan golongan kesatria, yaitu Semar dengan ketiga anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Selain itu terdapat pula panakawan golongan raksasa, yaitu Togog dan Bilung.

       Pada zaman pemerintahan Amangkurat I raja Kesultanan Mataram tahun 1645-1677, seni pewayangan sempat terpecah menjadi dua, yaitu golongan yang pro-Belanda, dan golongan yang anti-Belanda. Golongan pertama menghapus tokoh Bagong karena tidak disukai Belanda, sedangkan golongan kedua mempertahankannya.

       Dalam pementasan wayang golek gaya Sunda, ketiga anak Semar memiliki urutan yang lain dengan di Jawa Tengah. Para panakawan versi Sunda bernama Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu pewayangan gaya Jawa Timuran menyebut pasangan Semar hanya Bagong saja, serta anak Bagong yang bernama Besut.
       Dalam pewayangan Bali, tokoh panakawan untuk golongan kesatria bernama Tualen dan Merdah, sedangkan pengikut golongan jahat bernama Delem dan Sangut.
Dalam pementasan ketoprak juga dikenal adanya panakawan, namun nama-nama mereka tidak pasti, tergantung penulis naskah masing-masing. Meskipun demikian terdapat dua pasang panakawan yang namanya sudah ditentukan untuk dua golongan tertentu pula. Mereka adalah Bancak dan Doyok untuk kisah-kisah Panji, serta Sabdapalon dan Nayagenggong untuk kisah-kisah Damarwulan dan Brawijaya. Bawor adalah wayang kulit Banyumasan atau punakawan Banyumas: kisah kisah bawor dadi ratu.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Panakawan

Wayang kulit Punokawan ( Semar, Petruk, Bagong, Gareng ) Gagang dari Tanduk kerbau, asli dari kulit sapi tahan sampai 12 tahun lebih.
Tersedia juga wayang kualitas ISTIMEWA
Alamat : Bumirejo, Kebumen, Jawa tengah, Indonesia ( 54316 )
No Hp      : 087732836169
whats app :087732836169
Pin BB     : 7CE56E0D
Fan page  : Toko Wayang kulit
https://www.facebook.com/gatoel.akhmad
https://m.facebook.com/gatoel.akhmad

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls